Bukan Sekadar Asisten Biasa: Peran Strategis Alex Pastor
Dalam dunia sepak bola modern, peran asisten pelatih tak lagi sebatas pendamping. Banyak manajer top dunia mengandalkan asisten yang punya keahlian khusus di bidang taktik. Tengok saja Sir Alex Ferguson dengan Carlos Queiroz atau Mike Phelan, atau Pep Guardiola yang sangat dekat dengan Juanma Lillo, ahli positional play. Bahkan Mikel Arteta pun awalnya adalah asisten yang kini menjelma jadi manajer top.
Alex Pastor diprediksi akan mengisi peran serupa. Ia diharapkan bisa memberikan sentuhan taktikal dan teknikal yang lebih dalam, melengkapi visi Patrick Cifard. Namun, tentu saja, Pastor akan membawa nuansa dan filosofi permainannya sendiri. Penasaran bagaimana gaya bermainnya? Mari kita bedah bersama!
Alex Pastor: Magician di Balik Kesuksesan Tim Underdog
Sekilas, melihat statistik kemenangan Alex Pastor mungkin tidak terlalu mencolok. Di klub terakhirnya, Almere City, ia mencatatkan 41 kemenangan, 24 imbang, dan 35 kekalahan. Angka ini mungkin terlihat biasa saja, tapi ada konteks penting di baliknya: ia menangani tim underdog!
Almere City adalah klub muda yang baru berdiri tahun 2001. Di tangan Pastor yang kini berusia 58 tahun, klub ini berhasil promosi ke Eredivisie untuk pertama kalinya dalam sejarah! Ia memang identik dengan kemampuan menyulap tim kecil menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Almere City sebelumnya terpuruk di papan bawah sebelum akhirnya melesat ke kasta tertinggi. Kisah sukses serupa juga terjadi saat ia membantu promosi Excelsior dan Sparta Rotterdam. Ini jelas menjadi modal berharga bagi Timnas Indonesia yang ingin terus berkembang.
Formasi Fleksibel dan High Press Intens: Ciri Khas Pastor
Untuk menguak gaya bermain Alex Pastor, tim Ruang Taktik telah menganalisis beberapa pertandingan Almere City. Data dari Transfermarkt menunjukkan Pastor sering menggunakan dua formasi utama: 4-3-3 serta 3-4-1-2 atau 5-3-2. Ini menarik, mengingat Patrick Cifard cenderung menyukai formasi berbasis empat bek seperti 4-2-3-1 atau 4-3-3.
Kehadiran Pastor bisa menjadi jembatan fleksibilitas taktik. Jika Timnas era baru tetap ingin menggunakan formasi tiga bek, Pastor punya resepnya. Menariknya, meskipun menggunakan empat bek, komposisi pemain bertahannya seringkali terdiri dari tiga center-back dan satu full-back atau wing-back. Ini berarti wing-back kiri seringkali tetap berada di belakang, memberikan soliditas ekstra. Pastor cenderung memasang pemain seperti Rizky Ridho, Justin Hubner, atau Elkan Baggott di posisi ini, ketimbang Pratama Arhan yang lebih ofensif.
Salah satu ciri khas permainan Almere City di bawah Pastor adalah high press dengan intensitas tinggi. Dari formasi 3-4-1-2 atau 5-3-2, ia mendorong dua gelandang untuk melakukan pressing bersama dua striker di depan, membentuk kotak atau box press. Wing-back juga bisa naik melakukan pressing tinggi saat bola berada di sayap.
Bahkan, para center-back pun didorong untuk naik meninggalkan posnya, agresif dalam menekan lawan dan menutup jalur passing di tengah. Begitu trigger press berjalan, intensitas untuk merebut bola sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan era Shin Tae-yong, center-back di tim Pastor lebih agresif dan sering naik. Meski sama-sama menggunakan sistem tiga center-back, tim asuhan Pastor lebih proaktif dalam bertahan. Tentu, gaya bermain ini berisiko jika lawan punya kemampuan mumpuni dalam mengeliminasi high press, namun di Almere City, gelandang sering mengambil tactical foul dan bek di belakang cepat kembali membentuk shape.
Filosofi Serangan: Direct vs. Possession
Ini adalah perbedaan paling mencolok antara Alex Pastor dan Patrick Cifard. Cifard, saat menangani Adana Demirspor, lebih suka permainan possession. Build-up dilakukan dengan umpan-umpan pendek, melibatkan gelandang bertahan, dan jarang melepas umpan jauh langsung ke depan. Ia lebih mengedepankan sirkulasi bola untuk membuka jalur umpan, dengan long ball digunakan hanya untuk switch atau memindahkan arah serangan.
Alex Pastor dan Almere City justru sebaliknya. Mereka lebih banyak melakukan build-up secara direct menggunakan long ball ke depan, bahkan langsung dari kiper. Ada alasan di balik pendekatan ini: timnya tidak diisi pemain yang mahir dalam bermain possession.
Taktik long ball Pastor bukan sekadar untuk memenangkan duel udara. Seringkali, yang diincar adalah bola muntah atau second ball yang kemudian dikonversi menjadi serangan. Dalam laga final play-off yang membawa Almere City promosi, skema long ball terbukti efektif menghasilkan gol. Bola langsung diarahkan ke striker dengan pergerakan tanpa bola yang cerdas.
Permainan vertikal ini juga terlihat saat skema serangan balik. Ajax bahkan pernah menjadi korban serangan direct Almere City. Berawal dari corner yang digagalkan, second ball dimenangkan, lalu dilanjutkan dengan umpan vertikal direct ke depan. Para penyerang bergerak positif ke depan meski jauh dari bola, dan kombinasi umpan mampu menemukan pemain yang kosong di sisi jauh, yang kemudian sukses membobol gawang Ajax.
Di era Shin Tae-yong, serangan balik seringkali menjadi masalah karena decision making atau eksekusi yang kurang maksimal. Kekurangan-kekurangan inilah yang kita harapkan bisa diperbaiki oleh jajaran pelatih baru, terutama Alex Pastor.
Kolaborasi Dua Kepala: Masa Depan Timnas yang Menjanjikan
Gaya bermain Alex Pastor yang mirip dengan era sebelumnya – counter-press, high press, chaos, serta serangan cepat mengandalkan sayap – bisa menjadi senjata baru Timnas. Kemampuannya menyulap tim underdog menjadi tim yang diperhitungkan akan sangat berguna bagi Garuda, tidak hanya dalam aspek teknis dan taktis, tapi juga dalam membentuk mental pemain untuk menghadapi berbagai situasi pertandingan.
Pastor bisa menjadi penyeimbang Cifard, yang mungkin punya kelemahan di fase bertahan. Jika keduanya mampu berkolaborasi dengan baik, tentu akan sangat menarik melihat perkembangan Timnas Indonesia di bawah kepemimpinan mereka. Mari kita nantikan kiprah mereka mulai Maret nanti!