Pekan perdana Liga Primer Inggris musim ini langsung menyajikan duel panas yang dinanti: Chelsea di bawah asuhan pelatih barunya, Enzo Maresca, menjamu sang juara bertahan Manchester City. Pertarungan sengit di Stamford Bridge ini berakhir dengan kemenangan 0-2 untuk tim tamu.
Secara statistik, Chelsea sebenarnya mampu mengimbangi dominasi Manchester City. Data momentum dan penguasaan bola menunjukkan kedua tim saling bergantian menguasai jalannya laga, bahkan jumlah tembakan pun tak berbeda jauh. Yang lebih mengejutkan, nilai Expected Goals (xG) Chelsea justru lebih tinggi dari Man City. Namun, jika ditelisik lebih dalam, perbedaan kualitas menjadi kunci utama hasil akhir.
Anak asuh Pep Guardiola berhasil mencetak satu gol di setiap babak. Erling Haaland membuka keunggulan di babak pertama, memanfaatkan skema wide overload yang apik di sisi kiri. Di babak kedua, mantan pemain Chelsea, Mateo Kovacic, menggandakan keunggulan lewat aksi solo run memukau yang diakhiri tembakan keras ke tiang dekat. Penasaran bagaimana kedua tim meramu taktiknya? Mari kita bedah bersama!
Formasi dan Strategi Awal
Sebagai tuan rumah, Chelsea turun dengan formasi 4-2-3-1. Nicolas Jackson menjadi ujung tombak, ditopang Cole Palmer dan Noni Madueke di posisi winger, serta Enzo Fernandez sebagai playmaker di posisi nomor 10. Lini tengah diisi oleh duo gelandang pivot, Romeo Lavia dan Moises Caicedo. Sementara itu, empat bek diisi oleh Marc Cucurella, Malo Gusto, Levi Colwill, dan Wesley Fofana.
Di sisi lain, Manchester City secara nominal menggunakan formasi 3-2-4-1. Erling Haaland menjadi striker tunggal, disokong oleh empat gelandang serang: Savio dan Jeremy Doku di posisi winger, serta Kevin De Bruyne dan Bernardo Silva sebagai double number 10. Di lini tengah, Mateo Kovacic dan Rico Lewis dipercaya mengisi kekosongan absennya Rodri.
Peran Unik Rico Lewis dan Struktur Build-up City
Pep Guardiola memberikan peran yang sangat menarik bagi Rico Lewis di laga ini. Pemain muda jebolan akademi City ini mampu memainkan tiga peran berbeda saat build-up serangan. Ketika membangun serangan, tiga bek tengah City sejajar di lini pertama. Di lini tengah, Kovacic sering terlihat sendirian sebagai single pivot, karena Rico Lewis lebih sering berada di half-space atau koridor antara bek dan gelandang.
Struktur build-up ini berbeda dari biasanya, yang menempatkan dua gelandang berdekatan di depan lini pertama. Rico Lewis berperan sebagai gelandang nomor 8 saat build-up, gelandang nomor 10 saat menyerang, dan kembali menjadi fullback saat bertahan. Ia kerap membentuk segitiga (triangle shape) di half-space, menjadi outlet progresi penting untuk mengalirkan bola ke depan. Jika jalur umpan ke badannya tertutup, Rico bisa bergerak lebih melebar ke sayap untuk membuka ruang bagi dua gelandang serang City.
Eksploitasi Sayap dan Gol Pembuka City
Manchester City sangat dominan menyerang melalui dua koridor sayap, terkonfirmasi oleh data attacking side yang menunjukkan lebih dari 80% serangan mereka dilancarkan melalui area lebar. Menariknya, Bernardo Silva dan Kevin De Bruyne sering berada di area yang sama, terutama di sayap kiri. Ketika ini terjadi, Rico Lewis akan mengisi posisi gelandang serang di area tersebut, bertugas menyediakan koneksi saat City melakukan indirect switch atau perubahan arah serangan.
Gol pembuka City di menit ke-18 adalah contoh sempurna dari skema wide overload dengan gelandang serang yang bergerak melebar. De Bruyne, yang berperan sebagai false winger, mengikat Malo Gusto, memungkinkan Doku untuk menguasai bola. Bernardo Silva juga berada di sisi kiri, berdiri di antara dua bek tengah Chelsea. Umpan Doku kepada Bernardo, meskipun tidak terkontrol sempurna, justru mengarah ke Haaland di tengah kotak penalti. Striker haus gol ini melewati dua pemain Chelsea sebelum melesakkan bola melewati Robert Sanchez.
Selain wide overload, City juga banyak mengandalkan aksi individu eksplosif dari Savio dan Jeremy Doku di kedua sayap.
Strategi Bertahan City dan Kelemahan Chelsea
Saat bertahan, Manchester City menerapkan high-press yang agresif untuk menghambat build-up Chelsea. Struktur tanpa bola mereka adalah 4-1-4-1, dengan Haaland sebagai presser di depan. Kevin De Bruyne dan Bernardo Silva melakukan marking terhadap dua gelandang pivot Chelsea, sementara winger di sisi luar siap melakukan pressing ketika Chelsea mengalirkan bola ke fullback mereka. City baru akan melakukan pressing ketika ada pemicu tertentu, biasanya diawali dengan pergerakan Haaland yang menekan bek tengah lawan.
Gol kedua City di babak kedua juga bermula dari high-press ini, yang memaksa bek tengah Chelsea melakukan long ball ke depan. Bola berhasil dikuasai Kovacic, yang kemudian melakukan solo run dan melepaskan tembakan dari luar kotak penalti ke tiang dekat, tak mampu dihalau Sanchez.
Ketika bertahan di blok rendah, City menggunakan shape 5-4-1 di lini belakang, menjadikan Akanji harus berhati-hati saat step up. Namun, Chelsea beberapa kali berhasil mengeksploitasi ruang di samping Kovacic yang menjadi single pivot. Sayangnya, The Blues kurang klinis di depan, dengan Enzo Fernandez yang beberapa kali mendapatkan ruang bebas namun kontrolnya tidak sempurna, membuat peluang terbuang sia-buang.
Komentar Pelatih
Pasca-pertandingan, Enzo Maresca mengakui bahwa Chelsea memang mampu menciptakan peluang, namun perbedaan krusial antara kedua tim terletak pada ketajaman di dalam kotak penalti. Pemain Chelsea dinilai kurang klinis dalam penyelesaian akhir. Sebaliknya, Pep Guardiola sangat terkesan dengan performa timnya, bahkan tidak menyangka para pemainnya bisa tampil di level sebaik itu pada laga pembuka.